BANYUWANGI – Kementerian Pariwisata menggelar Rapat Koordinasi Teknis
Pariwisata yang diikuti 200 pelaku wisata kawasan Indonesia Timur yang
mayoritas di antaranya adalah para kepala dinas pariwisata dari berbagai
kabupaten di Sulawesi, Gorontalo, Maluku, NTB, Bali, NTT, Papua, dan
Papua Barat mulai Rabu-Jumat (3-5/10).
Para peserta ini sekaligus diajak melihat langsung praktik
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang dikembangkan Banyuwangi.
Rakor dibuka langsung Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata
Dadang Rizki Ratman, serta dihadiri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar
Anas.
Dadang mengatakan, dalam teori pengembangan pariwisata ada pedoman
yang dikenal dengan 3A yaitu Atraksi, Aksesibilitas, dan Amenitas.
Namun ada satu aspek penting yang juga menjadi kunci keberhasilan
pengelolaan destinasi, yaitu aspek ancilliary. Ancilliary berkaitan
dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus
destinasi tersebut.
“Faktor itu menjadi penting karena walaupun destinasi sudah
mempunyai atraksi, aksesibilitas dan amenitas yang baik, tapi jika tidak
ada yang mengatur dan mengurus hingga melestarikan maka keberlanjutan
suatu destinasi bisa terancam,” kata Dadang.
Untuk itulah, Kemenpar memfasilitasi para kepala dinas pariwisata
di wilayah timur Indonesia untuk ke Banyuwangi yang dinilai sebagai
pemerintah daerah dengan konsep pengembangan pariwisata yang terukur dan
terbukti berhasil.
“Banyuwangi menjadi best practice bagaimana pengembangan wisata
tidak hanya menghasilkan kunjungan wisatawan, tapi juga investasi.
Inspirasi dari Banyuwangi ini semoga bisa memotivasi kita semua untuk
bersama-sama membangun pariwisata Indonesia,” ajak Dadang.
Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan, Banyuwangi memulai
pengembangan pariwisata nyaris dari nol. Potensi wisata alam dan
seni-budaya sebelumnya belum tergarap dengan optimal.
“Kita awalnya tidak punya aksesabilitas yang baik. Tidak ada
penerbangan. Modal kita di awal hanya semangat dan kesungguhan serta
fokus dalam memilih pariwisata sebagai payung besar pembangunan di
Banyuwangi,” ujar Anas.
Anas pun memaparkan berbagai hal yang dilakukan Banyuwangi. Mulai
membuka mobilitas udara, peningkatan amenitas alias fasilitas penunjang
wisata, penataan SDM, hingga memacu beragam atraksi wisata.
Anas menambahkan, salah satu faktor terpenting dalam pengembangan
pariwisata adalah partisipasi publik. Di Banyuwangi, partisipasi
berkembang. Kelompok anak muda mengembangkan wisata di kampung-kampung,
seperti hutan pinus Songgon, wisata sejarah Kampung Temenggungan, wisata
kopi Gombengsari, desa wisata Banjar, jelajah budaya Desa Adat Kemiren,
dan Bangsring Underwater.
”Partisipasi ini yang tidak ternilai. Artinya rakyat merasakan
dampak langsung pariwisata terhadap kesejahteraannya, sekaligus mampu
membentuk budaya aman, ramah, dan toleran di lingkungannya
masing-masing,” papar Anas. (*)